Sleman, metroraya.id– Biennale Jogja 2025 kembali hadir dengan semangat baru yang dibingkai dalam dua babak peristiwa seni. Babak pertama akan dimulai dari akar yaitu sebuah repertoar kolaboratif bersama warga di Desa Karangsewu, tepatnya Padukuhan Boro, Kulon Progo. Di sinilah proses dan pengetahuan lokal menjadi napas utama dalam merangkai narasi seni yang membumi.
Perjalanan Biennale kemudian berlanjut ke Babak Kedua, yang tersebar di wilayah Kota Yogyakarta dan dua desa di Bantul tepatnya Bangunjiwo dan Panggungharjo. Kedua lokasi ini bukan hanya menjadi tempat pameran, tetapi juga ruang dialog antara praktik seni kontemporer dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sebagai pengantar menuju perhelatan utama, Biennale Jogja menggelar Media Gathering untuk mengumumkan judul edisi ke-18 kali ini: KAWRUH: Tanah Lelaku, sebuah ungkapan yang mengandung makna tentang pengetahuan, praktik, dan pengalaman hidup.
Media Gathering Biennale Jogja ke-18 digelar di Kampoeng Mataram, Yogyakarta pada Rabu 09 Juli 2025. Pada acara tersebut Kepala Dukuh Padukuhan Boro, Greg Andi Sindana menjadi narasumber didampingi istrinya. Uniknya Greg diajukan oleh warganya menjadi dukuh ditunjuk oleh warganya bukan maju atas usulan sendiri sebagai Kepala Dukuh di Padukuhan Boro, Kalurahan Karangsewu, Kapanewon Galur, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Greg menerangkan bahwa Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) sedang melakukan transformasi desa, “Padukuhan Boro ini awalnya masih menjadi padukuhan yang ekslusif karena dilihat dari penduduknya masih nikah dengan tetangga sendiri, pekerjaan belum banyak yang keluar desa dan rata” menjadi petani dan merasa nyaman dengan keadaan.”, ungkap Greg dalam acara tersebut.
Masyarakat di desa tersebut menghadapi permasalahan sosial ketika masyarakat yang masih ekslusif dan hidup dengan lingkungannya sendiri ini berhadapan dengan era globalisasi dimana sekarang dibangun jalan Jalur Lintas Selatan (JLS) dan jalan Deandels sehingga pembangunan ini yang memaksa masyarakat menghadapi arus globalisasi.
Hal ini juga membuat warga menghadapi tantangan dalam hidup karena masyarakat ini sudah terbiasa dengan kehidupan sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar mereka. Sehingga mereka ini mencoba membuat transformasi dari desa yang ekslusif menjadi desa yang inklusif agar desa ini bisa maju dan warganya juga menjadi lebih berdaya. Proses transformasi tersebut disesuaikan dengan ritme warga karena dari dialog dengan warga dirasa masih sulit. Maka ritme transformasi tersebut dilakukan pelan-pelan namun di waktu tertentu juga harus cepat karena arus globalisasi yang datang seiring percepatan pembangunan yang ada disana.
“Warga itu punya gamelan dan ketoprak yang menjadi refleksi warga dalam mencari identitas mereka sendiri. Proses ini pelan-pelan dan melibatkan semua pihak. Kawruh ini adalah cara kami agar warga mampu bercermin dan membangun identitas. Sebelum biennale itu kami sedang membangun ritme kami membangun warga dalam pembangunan dan juga membangun warga agar terbangun perspektif. Di desa ini juga baru diawali merti desa pertama di dusun itu dan refleksi bagi warga itu menjadi sebuah momentum agar warga guyub.Kawruh ini mengajak sama-sama warga desa untuk membaca dirinya sendiri agar tidak membaca pengetahuan terlalu jauh karena pengetahuan itu sudah ada pada dirinya sendiri.” jelas Greg.
Saat tim metroraya.id menemui Greg beliau menjelaskan bagaimana apa yang akan dilakukan YBY, bahwa Biennale Kawruh ini menjadi momen mengenai pengetahuan-pengetahuan lokal yang ada di desa. “Jadi melalui Biennale ini saya kira ini adalah momen warga desa menemukan dirinya sendiri melalui pembacaan terhadap pengetahuan-pengetahuan di lingkungan terdekat mereka sendiri.” ujarnya.
Greg juga menjelaskan mengenai sejarah kebudayaan di Boro. “Saya mengulik sejarahnya yang sebelumnya tidak diketahui oleh warga, jadi Padukuhan Boro ini sebelumnya adalah rawa-rawa yang bulat dan dikelilingi oleh sawah dan pohon kelapa,” ungkapnya.
Menurutnya sawah ini dulunya adalah rawa-rawa yang dikeringkan pada 1870 ketika ada pabrik gula Belanda di Daerah Karang Kemuning, Pabrik Gula Selu galur namanya. Sehingga yang tadinya warga adalah nelayan rawa-rawa yang keliling mencari ikan kemudian berubah menjadi buruh, buruh kebun tebu dan setelah itu pabrik gula collapse pada tahun 1930 karena depresi ekonomi di Amerika kemudian lahan-lahan tebu secara perlahan-lahan menjadi sawah, dari nelayan ke buruh lalu menjadi petani. Jadi kebudayaannya lekat dengan apa yang mereka lakukan yaitu menjadi petani.
Greg juga menambahkan bahwa kondisi masyarakat di sana baik-baik saja dan tidak banyak gejolak secara kultur dan kebudayaan namun hal itu kemudian berubah setelah dibangunnya Jalan Daendels dan JLS yang mengapit mereka.
Pada sesi tersebut Greg menjelaskan bahwa mereka tidak anti pada pembangunan atau modernisasi namun mereka akan terus memberdayakan warga sehingga bisa beradaptasi terhadap perubahan yang begitu cepat ini. Mereka menyiapkan warga dengan pengetahuan lokal yang ada pada budaya mereka sendiri dan apa yang ada di alam mereka agar mampu menemukan identitas mereka sendiri.*Jurnalis: Saifa Anis. Editor:Retnowati.
Leave a Reply