Brebes, metroraya.id – Aspirasi warga Brebes bagian selatan bergema keras dalam Dialog Pembangunan Brebes Beres Brebes Selatan. Forum yang digelar di Pendopo II Kawedanan Bumiayu, ini menjadi ajang curhat sekaligus tuntutan pemerataan pembangunan. Selasa, 21/10/25.
Para tokoh masyarakat, perwakilan kecamatan, dan pemangku kepentingan berkumpul. Tujuannya satu: mengakhiri kesenjangan pembangunan yang masih menganga antara wilayah utara dan selatan Kabupaten Brebes.
Imam Santoso, Ketua Panitia, menegaskan dialog ini harus jadi langkah konkret.
“Harapannya bukan sekadar seremonial. Ini langkah nyata agar Brebes Selatan dapat perhatian seimbang dalam pembangunan,” katanya tegas.
Forum dibuka untuk semua perwakilan kecamatan. Satu per satu mereka menyuarakan masalah yang menumpuk bertahun-tahun.
Jalan Sempit dan Rawan Longsor
Perwakilan Kecamatan Paguyangan mengangkat isu klasik: infrastruktur jalan. Kondisi jalan kabupaten sempit dan rawan longsor di beberapa titik. Desa Pandansari dan Cipetung jadi lokasi paling kritis.
Warga mendesak pemerintah segera memperbaiki akses jalan. Bagi mereka, jalan adalah urat nadi ekonomi masyarakat pegunungan. Tanpa jalan layak, hasil bumi sulit dijual keluar.
Dari Kecamatan Bantarkawung, sorotan tertuju pada sektor pertanian. Potensi hasil bumi Brebes Selatan sangat besar. Sayangnya, belum diimbangi pendampingan dan akses pasar memadai.
“Petani kita butuh bimbingan perencanaan dan pemasaran. Pemerintah harus buka koneksi ke koperasi, pasar modern, bahkan ekspor. Produk seperti bambu, briket, dan hasil tani harus punya nilai tambah,” ujar salah satu peserta.
Tanpa dukungan ini, petani hanya jadi penonton saat daerah lain maju.
RTH Tertunda, Jembatan Rusak Bertahun-tahun
Warga Bumiayu tak kalah vokal. Mereka menyoroti Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dijanjikan tapi tak kunjung terealisasi. Ketahanan pangan dan perbaikan fasilitas publik juga jadi tuntutan.
Satu isu lama yang kembali mencuat: Jembatan Notog di Desa Kalinusu. Jembatan vital bagi mobilitas petani ini rusak bertahun-tahun. Perbaikannya masih sebatas janji.
Industri Minim, Hutan Rusak
Kecamatan Salem mengangkat isu lebih serius: keterbatasan industri dan krisis lingkungan.
Wilayah selatan belum punya industri besar meski sumber daya alam melimpah. Ironisnya, hutan yang jadi tumpuan ekonomi warga justru mengalami kerusakan.
“Kalau dibiarkan, 10 sampai 20 tahun ke depan anak cucu kita tak akan nikmati manfaat hutan. Pemerintah harus serius kelola sumber daya alam secara berkelanjutan,” tegas peserta dari Salem.
Degradasi hutan bukan hanya soal lingkungan. Ini soal masa depan ekonomi masyarakat pegunungan.
Butuh Sinergi Lintas Dinas
Para peserta sepakat: pemerataan pembangunan butuh kerja sama lintas dinas.
Pertanian, perdagangan, koperasi, dan perindustrian harus bergerak bersama. Ekosistem pembangunan yang saling mendukung adalah kuncinya.
Selain itu, warga mendorong pemerintah membuka pintu bagi investor dan sponsor. Brebes Selatan punya potensi besar di sektor wisata dan ekonomi kreatif yang belum tergarap.
“Kita bisa belajar dari daerah tetangga yang berhasil kelola wisata dan UMKM secara modern. Brebes Selatan juga bisa, asal difasilitasi,” kata salah satu peserta.
Dari Aspirasi ke Aksi Nyata
Dialog ditutup dengan doa bersama dan komitmen menindaklanjuti hasil pembahasan.
Pemerintah Kabupaten Brebes diharapkan tidak berhenti pada pencatatan aspirasi. Ini harus jadi bahan nyata dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan 2026.
Warga selatan menegaskan satu hal penting: pembangunan yang adil bukan hanya soal fisik. Ini soal keberpihakan.
Ketika akses jalan, ekonomi, dan lingkungan diperhatikan setara, cita-cita “Brebes Beres” bukan lagi slogan kosong. Melainkan wujud nyata keadilan untuk seluruh wilayah Brebes. *Kontri Pantura: Iimzet.
Leave a Reply