Foto Simbolis Sinergitas Elemen Masyarakat dalam Dialog Kebudayaan di Tasneem Hotel Malioboro, Yogyakarta. Sabtu, 18/10/25. Dok.: Gilang metroraya.id.
Yogyakarta, Metroraya.id — Dialog Hari Kebudayaan Nasional 2025 sukses digelar di Tasneem Hotel Malioboro, Yogyakarta, Sabtu, 18/10/25.
Kegiatan bertema “Merajut Keberagaman, Menguatkan Kebangsaan” ini menjadi bagian dari peringatan perdana Hari Kebudayaan Nasional yang dicanangkan pada tanggal 17 Oktober dan diinisiasi oleh Tim 9 Garuda Plus.
Dialog tersebut menghadirkan berbagai tokoh narasumber, di antaranya Achmad Charris Zubair (budayawan), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (akademisi), Ir. Ahmad Sauqi Soeratno, M.M. (Anggota DPD RI DIY), dan Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si. (Paniradya Pati Kaistimewaan DIY).
Acara dibuka dengan Tari Ramayana, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan sambutan Ketua Panitia Rahadi Saptata Abra, S.Si., MBA.
Dalam wawancara seusai acara, Ketua Panitia Rahadi Saptata Abra, S.Si., MBA, menyoroti tantangan generasi muda dalam menghadapi derasnya budaya populer global, terutama dari Korea. Ia menilai bahwa kebudayaan tidak boleh hanya dipandang sebagai kesenian semata, tetapi harus dimaknai sebagai pandangan hidup yang membentuk karakter bangsa.
“Tantangannya adalah bagaimana anak muda tidak larut dalam budaya luar. Budaya itu bukan sekadar seni, tapi cara hidup dan sopan santun yang harus kita jaga. Apalagi di era gawai ini, penguatan nilai-nilai budaya menjadi penting,” ungkap Rahadi.
Ia berharap dialog kebudayaan menjadi kegiatan berkelanjutan yang melibatkan lintas generasi dan berbagai sektor agar nilai-nilai lokal tidak hanya dikenang, tetapi juga dipraktikkan.
Sementara itu, dalam wawancara terpisah, Staff Khusus Menteri Kebudayaan Basuki Teguh Yuwono, S.Sn., M.Sn., menegaskan bahwa kebudayaan harus hadir dalam sistem kehidupan sosial dan ruang publik. Menurutnya, kebudayaan tidak boleh kaku dalam batas formal, melainkan tumbuh dalam keseharian masyarakat.
“Kebudayaan harus cair dan tidak boleh kaku oleh sekat-sekat tertentu. Karena itu, ruang publik yang memadai perlu digarap secara serius dan menjadi salah satu program penting pemerintah. Seniman juga harus kita hargai, baik yang berkarya di ruang formal maupun di ruang-ruang cair seperti pasar dan komunitas. Anggaran kebudayaan Indonesia pun sebenarnya telah mencakup pemanfaatan ruang publik, hanya saja pelaksanaannya perlu dikelola secara lebih sistematis,” jelas Basuki.
Basuki juga menguraikan empat prinsip penguatan budaya nasional yakni pelibatan semua pihak, keberlanjutan kegiatan, pengembangan ekosistem seni, dan edukasi pewarisan nilai.
Ia menekankan bahwa negara harus hadir bukan sekadar memberi penghargaan, tetapi membangun sistem yang mendukung seniman dan pendidikan budaya.
Lebih jauh, Basuki menegaskan bahwa kehadiran negara dalam kebudayaan harus bersifat sistemik dan berakar hingga tingkat lokal.
“Negara harus hadir dari akar, dari generasi muda, dengan mekanisme yang jelas. Apresiasi bukan hanya uang atau piagam, tapi dukungan sistem—dari sanggar hingga bahan ajar. Kesinambungan antara seniman, pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat harus bersinergi. Pola informasi kebudayaan juga perlu dibangun dengan lebih cair,” ujar Basuki menutup wawancara.
Sementara itu Paniradya Pati Kaistimewaan DIY Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si., menyatakan bahwa budaya merupakan bentuk dari peradaban dan keistimewaan DIY yang terbentuk dari sejarah dan asal usul yang merupakan bagian peradaban.
“Kegiatan budaya tidak semua merupakan biaya tetapi ada manfaat dan hasil dari proses pemeliharaan dan pengembangan obyek kebudayaan yang mempunyai nilai ekonomi di masyarakat,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa proses penetapan hanya langkah awal. “Yang perlu dilakukan adalah secara konkrit mengimplementasikan kebudayaan yang bermanfaat bagi masyarakat tidak sekedar pemeliharaan (legalitas dan perlindungan) tetapi juga pengembangan (penguatan, pembinaan dan pemanfaatan) obyek budaya,” tegasnya.
Dialog Hari Kebudayaan Nasional 2025 pun menegaskan pesan penting: kebudayaan adalah roh bangsa, yang hanya akan hidup jika masyarakat, pemerintah, dan seniman bergerak dalam satu ekosistem yang berkelanjutan. *Pewarta: Gilang Indra Wicaksana | Editor: Retnowati.
Leave a Reply