Sekaten, Soko Ati, Syahadatain

Sebuah Cerpen Profetik

Gus Nas Jogja – Di pelataran Masjid Gede Kraton Yogyakarta, tempat waktu melambat menjadi pusaran zikir, aku, Sang Pencari Cinta, duduk bersila. Bulan purnama tergantung di atas menara, pucat dan sendu, seperti sebutir mutiara yang ditinggalkan oleh dewa. Udara berbau kemenyan dan bunga melati, dicampur dengan bisikan doa-doa kuno yang memantul dari dinding-dinding marmer, menciptakan simfoni spiritual yang tak terucapkan. Aku berada di tengah perayaan Sekaten, sebuah festival yang menyatukan dunia yang terlihat dan yang tak terlihat, sebuah perayaan yang merayakan kelahiran seorang Nabi yang cintanya melampaui segala batas.

Aku bukan seorang santri, bukan pula seorang abdi dalem. Aku adalah sebuah kerinduan yang berjalan, sebuah hasrat yang tak terpuaskan, mencari makna di balik upacara-upacara dan tradisi-tradisi. Tujuanku satu: menemukan “cinta” yang disembunyikan dalam perayaan ini, cinta yang ditanamkan oleh Wali Songo.

Di sekelilingku, bukan kerumunan biasa, melainkan siluet-siluet legendaris yang materialisasi dari eter waktu. Mereka adalah para penyair sufi dari seluruh dunia, wajah mereka berseri-seri, mata mereka penuh kedalaman. Ada Rumi, yang terus berputar dalam ekstase, jubahnya menciptakan pusaran angin yang berbau wewangian kosmik. Ada Rabiah al-Adawiyah, yang berdiri tenang, matanya menatap ke dalam kekosongan, mencari Tuhan dalam kesunyian. Ada Al-Ghazali, yang memegang sebuah pena bulu, siap mencatat setiap percikan pencerahan yang muncul.

Dan di antara mereka, sosok-sosok Wali Songo hadir dalam wujud yang tak terduga. Sunan Kalijaga, dengan pakaian serba hitamnya, duduk di atas sebuah bakiak raksasa yang terbuat dari awan. Sunan Bonang, memainkan rebana dari kulit bulan purnama. Mereka tidak lagi berbicara dalam bahasa manusia, melainkan dalam bahasa simbol dan isyarat.

Suara tabuhan gamelan pusaka Kyai Sekati mulai terdengar dari kejauhan. Bukan suara biasa, melainkan suara yang merobek ruang dan waktu, suara yang seolah-olah membawa kita ke masa lalu, saat Islam pertama kali menyentuh tanah Jawa. Gamelan itu, aku sadar, tidak hanya terbuat dari perunggu, melainkan dari “Syahadatain,” dari “Soko Ati,” dari hati yang suci.

Rumi, yang kini berputar lebih cepat, mendekatiku. “Wahai Sang Pencari!” teriaknya, suaranya seperti seruling yang dimainkan oleh angin gurun. “Kau mencari cinta di tengah keramaian ini? Cinta itu tidak ada di luar! Cinta itu ada di dalam hatimu! Sekaten ini adalah perayaan dari hatimu sendiri yang bergetar!”

Kata-kata Rumi menusuk ke jantung kerinduanku. Selama ini, aku selalu mencari cinta di luar, dalam hubungan, dalam pengakuan, dalam kepemilikan. Aku tidak pernah berpikir untuk melihat ke dalam.

Tiba-tiba, Sunan Kalijaga menghentikan bakiak raksasanya, ia menatapku. Tatapannya penuh welas asih, namun juga penuh jenaka. “Dulu,” katanya, suaranya mengalun seperti air sungai yang jernih, “orang-orang datang ke Masjid ini karena takut. Takut pada dosa, takut pada azab. Lalu saya ajarkan mereka untuk datang karena ‘suka ati’, karena senang hati. Saya ajak mereka melihat perayaan, mendengarkan gamelan, dan dari situlah, hati mereka terbuka untuk Syahadatain.”

Aku merasa seperti sebuah teka-teki yang baru saja mendapatkan petunjuk pertamanya. Sekaten bukan hanya sebuah upacara, melainkan sebuah metode. Sebuah metode untuk membuat hati yang keras menjadi lembut, hati yang gelap menjadi terang.

Seorang abdi dalem yang usianya sudah sangat tua, dengan senyum yang penuh rahasia, mendekatiku. Ia memegang setangkup bunga melati. “Den Mas,” bisiknya, “kenapa Wali Songo itu lebih suka gamelan daripada rebana?”

Aku terdiam, tak bisa menjawab.

“Karena gamelan itu bisa membuat orang ‘sekaten,’ bisa membuat orang ‘soko ati,’ bisa membuat orang ‘senang hati.’ Kalau rebana, orang-orang biasanya cuma ‘seke-ten,’ cuma ‘sekedar’ datang!”

Kami tertawa, tawa yang melegakan, tawa yang memecah ketegangan spiritual yang mencekam. Ya, ini adalah jenis humor absurd yang hanya bisa dinikmati di tengah pencarian makna hidup yang mendalam. Humor adalah cara para Wali untuk menyentuh hati manusia.

Rabiah al-Adawiyah, yang sejak tadi hanya diam, kini mendekatiku. Matanya yang tua memancarkan cahaya. “Wahai Sang Pencari,” katanya, suaranya selembut sutra, “mereka semua berbicara tentang metode, tentang jalan. Tapi jalan itu tidak ada artinya tanpa tujuan. Tujuan dari semua ini, adalah Sang Kekasih. Dan Sang Kekasih tidak bisa dicari dengan akal, tetapi dengan hati.”

Kata-kata Rabiah bagai hujan yang membasahi tanah yang kering. Cinta. Ya, cinta adalah tujuannya. Tapi bagaimana cara mencarinya?

Al-Ghazali, dengan pena bulunya, kini menulis di udara. Kata-kata yang ia tulis tidak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan. “Sang Kekasih itu tidak suka pada kepura-puraan,” bisiknya. “Dia suka pada kejujuran. Dia suka pada hati yang jujur, pada tindakan yang jujur, pada pengakuan yang jujur.” Ia berhenti, lalu menunjuk ke arahku. “Pencarianmu ini, wahai Sang Pencari, harus dimulai dengan kejujuran. Jujur pada dirimu sendiri.”

Tiba-tiba, pemandangan menjadi surealis. Gamelan Kyai Sekati melayang di udara, mengeluarkan suara-suara yang lebih lembut, lebih merdu. Setiap nada adalah sebuah kisah, sebuah ayat, sebuah doa. Aku melihat Sunan Kalijaga melayang di atas Masjid Gede, dengan bakiak raksasanya, ia menaburkan bunga-bunga melati yang berubah menjadi bintang-bintang kecil. Aku melihat Sunan Bonang memainkan rebana bulan purnama, dan setiap tabuhannya menciptakan sebuah bayangan Muhammad SAW yang tersenyum.

Aku merasa sebuah kekuatan menarikku. Bukan kekuatan fisik, melainkan kekuatan spiritual. Aku melayang, melayang di atas keramaian, di atas gemerlapnya lampu-lampu, di atas ribuan orang yang berdoa. Aku melayang menuju gamelan Kyai Sekati.

Aku menyentuh gamelan itu, dan sebuah suara mengalun dari dalam diriku. Bukan suaraku, melainkan suara dari Sang Pencari yang sejati. Suara itu mengucapkan dua kalimat syahadat, “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah.” Suara itu penuh dengan kejujuran, penuh dengan kerinduan, penuh dengan cinta. Dan saat aku mengucapkan dua kalimat itu, gamelan itu bersinar terang, cahayanya melampaui bulan dan bintang.

Aku menyadari, Syahadatain bukan hanya sebuah kalimat, melainkan sebuah pernyataan cinta. Sebuah pernyataan yang jujur, sebuah pengakuan yang tulus. Dan pengakuan itu, aku sadar, adalah fondasi dari seluruh perayaan ini.

Seorang abdi dalem senior yang tadi aku temui muncul lagi, di tangannya membawa sebuah nampan berisi pisang. “Den Mas,” bisiknya, “ini pisang buat Den Mas. Pisang itu, kalau sudah matang, rasanya manis. Tapi dia tidak tahu kalau dia manis. Rasa manis itu ada di lidah kita. Sama seperti kita. Kita tidak tahu kalau kita sudah ‘sampai’ kalau kita tidak merasakannya. Dan rasa itu, hanya bisa dirasakan dengan hati yang jujur.”

Aku mengambil pisang itu, lalu mengupasnya. Saat aku menggigitnya, aku merasakan rasa manis yang tak terlukiskan. Bukan rasa manis pisang, melainkan rasa manis dari sebuah kebahagiaan yang telah kutemukan. Aku tidak lagi mencari. Aku telah menemukan.

Aku melihat ke sekeliling, dan pemandangan menjadi normal kembali. Gamelan Kyai Sekati kembali ke tempatnya, Wali Songo telah menghilang, dan para penyair sufi kembali ke dimensi mereka masing-masing. Aku berdiri sendiri di tengah pelataran Masjid Gede, namun tidak merasa sepi.

Dalam diriku, sebuah pemahaman baru telah lahir. Sekaten bukan hanya sebuah festival. Ia adalah sebuah perjalanan. Perjalanan dari “sekedar tahu” (sekaten) menjadi “senang hati” (soko ati) hingga “pengakuan cinta yang tulus” (syahadatain). Dan perjalanan itu, aku sadar, hanya bisa diselesaikan dengan satu hal: kejujuran. Kejujuran pada diri sendiri, kejujuran pada orang lain, dan kejujuran pada Sang Kekasih.

Aku berjalan pulang, meninggalkan Masjid Gede. Langkahku ringan, seolah-olah beban ribuan kerinduan telah terangkat. Aku berjalan melintasi Alun-alun Utara, dan seorang abdi dalem yang berbeda, dengan senyum yang sama, menatapku.

“Den Mas menemukan yang dicari?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Sudah.”

“Dimana?”

“Di dalam hati saya,” jawabku.

Abdi dalem itu mengangguk, lalu ia tertawa, tawa yang seperti kerikil yang dilemparkan ke dalam sumur tua. “Selamat, Den Mas. Berarti perjalanan Den Mas yang paling panjang sudah selesai.”

Aku tidak membalas. Aku hanya berjalan, membiarkan langkahku membawa pulang sebuah cinta yang tidak bisa dicari, tidak bisa dibeli, tidak bisa diukur. Sebuah cinta yang hanya bisa dirasakan, saat kita jujur pada diri sendiri, dan berada sepenuhnya di dalam saat ini.

Aku terus berjalan menyusuri jalanan Yogyakarta yang lengang, hatiku kini dipenuhi pemahaman yang melampaui filsafat manusia. Kata-kata Wali Songo telah membuka pintu, dan kini, dalam keheningan malam, bisikan-bisikan dari kitab suci, sabda para nabi, dan pujangga mulai meresap ke dalam jiwaku, meneguhkan fondasi cinta yang telah kutemukan.

“Cinta itu adalah rahasia, dan jika ia diungkapkan, ia akan kehilangan misterinya,” bisik sebuah suara dari masa lalu, dari sebuah kitab suci yang penuh dengan metafora cinta. Aku mengerti, cinta sejati tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, ia hanya bisa dirasakan. Ia adalah sebuah rahasia suci yang hanya diketahui oleh hati.

Lalu, terdengar suara lain, yang lebih kuno, dari seorang Nabi yang suci. Beliau bersabda, “Cinta yang paling utama adalah mencintai-Nya, mencintai-Nya lebih dari segalanya.” Aku menyadari, pencarian cintaku selama ini adalah sebuah lingkaran yang kembali pada titik awalnya. Aku mencari cinta di luar, padahal cinta yang paling sejati adalah cinta yang ada di dalam, cinta pada Sang Pencipta itu sendiri.

Aku teringat akan sebuah ayat dari kitab suci yang mengajarkan tentang cinta. “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Sebuah ajaran yang begitu sederhana namun begitu mendalam. Cinta pada sesama tidak bisa ada tanpa cinta pada diri sendiri. Dan cinta pada diri sendiri tidak bisa ada tanpa kejujuran, tanpa penerimaan.

Tiba-tiba, suara seorang pujangga yang terkenal dengan sajak-sajak cintanya terdengar. “Cinta itu seperti lautan,” katanya, “ia tidak bisa diukur, ia tidak bisa dipegang. Ia hanya bisa dirasakan saat kita membiarkan diri kita tenggelam di dalamnya.” Aku menyadari, aku tidak bisa “mencari” cinta. Aku hanya bisa membiarkan diriku “tenggelam” di dalamnya.

Pada akhirnya, aku menyadari, semua jalan pencerahan, dari filsafat Jawa hingga ajaran para nabi dan pujangga, bermuara pada satu titik yang sama: cinta adalah fondasi kehidupan yang otentik. Cinta adalah jembatan antara dunia fisik dan dunia spiritual, antara hati dan jiwa, antara kita dan Sang Kekasih. Ia adalah benang emas yang mengikat seluruh alam semesta.

Aku berhenti, menatap langit Yogyakarta yang kini benar-benar gelap, hanya diterangi oleh jutaan bintang. Masing-masing bintang adalah sebuah bisikan ilahi, sebuah pengakuan suci, yang menegaskan kembali apa yang telah kusaksikan di Masjid Gede tadi. Aku tidak lagi merasa seperti sebuah kerinduan yang berjalan. Kini aku merasa seperti sebuah cinta yang utuh, sebuah cinta yang telah menemukan rumahnya. Dan dalam cinta itu, aku menemukan makna dari seluruh keberadaanku.

Aku berjalan pulang, siap hidup, dengan cinta sebagai kompas dan jangkar. Dan aku tahu, entah di Yogyakarta, di mana pun, fondasi itu akan selalu berdiri tegak.

Jogja, 12 Rabiul Awal 1447 atau 5 September 2025

Penulis : HM. Nasruddin Anshoriy Ch, Budayawan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *