Yogyakarta, metroraya.id – Sebagai upaya merajut keberagaman dan melestarikan budaya, warga masyarakat Kalurahan Budaya Gedongkiwo, Kemantren Mantrijeron, Yogyakarta menggelar salah satu kegiatan adat yang bertepatan dengan malam 1 Sura/Muharram 1447 H dengan nama Mataya Lampah Donga: Mubeng Kampung Malam 1 Sura 1959 Dal, Trus Tinata Mekaring Budaya. Kamis malam, 26/6/25.
Mataya Lampah Donga diwujudkan dalam bentuk sebuah tarian ritual doa. Diciptakan dan diperankan langsung oleh Prof. Sumandiyo Hadi, seorang maestro tari klasik gagrak Ngayogyakarta, tarian ini dimaksudkan sebagai ekspresi penyerahan diri dan doa kepada Yang Maha Kuasa agar dibersihkan dan dijauhkan dari segala penyakit, mara bahaya, serta diberikan kedamaian dan keselamatan hidup di dunia.
“Dalam buku yang saya tulis berjudul Mengapa Menari? mataya atau tarian bisa dimaksudkan sebagai sebuah ritual berdoa. Dulu, tarian ini saya ciptakan saat saya isolasi mandiri karena covid 19 dan alm. istri saya masih di rumah sakit. Tarian tersebut saya beri nama Mataya Singkir Sengkolo. Sebuah laku doa dan penyerahan diri kepada Tuhan agar disingkirkan segala sengkolo (permasalahan-red),” tutur Prof. Sumandiyo.

Para Peserta Ritual Mubeng Kampung Gedongkiwo Mataya Lampah Donga Memasuki Ndalem Cakrasenan Dan Dilanjutkan Kembul Bubur Suran Sebagai Akhir Dari Acara. Foto : Arif Babinsa Polsek Mantrijeron for metroraya.id
Dimulai pukul 20.00 WIB, sebagai pemeran utama Mataya Lampah Donga, Prof. Sumandiyo membawakan gerakan-gerakan tarian yang mengekspresikan penyerahan jiwa serta pengharapan. Bregada Niti Manggala Kalurahan Gedongkiwo dengan pasukannya yang kompak mengiringi jalannya tarian dengan panji dan ungel-ungel, mulai dari halaman Masjid Kagungan Ndalem Masjid Tawangsari, menuju Ndalem Cakrasenan. Tidak hanya itu, pamangku wilayah, Lurah Gedongkiwo, linmas, Babinsa dan Babinkamtipmas, Hadrah Gedongkiwo, seluruh ketua RT Kelurahan Gedongkiwo dan segenap masyarakat, berada dalam suasana penuh khidmat turut melebur dalam acara.
“Bersama masyarakat, kegiatan Mataya Lampah Donga tersebut sudah saya lakukan yang ketiga kalinya di Gedongkiwo pada malam satu Suro, dan ini adalah yang paling meriah. Saya berharap kiranya dengan laku ini, Tuhan berkenan menyingkirkan segala sengkol yang menimpa negeri ini, dan menjadikan negeri ini aman, makmur dan damai,”imbuh Prof Sumandyo Hadi sambil menikmati bubur suran, seusai kegiatan Mataya Lampah Donga.
Sementara itu Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY sangat mendukung dan mengapresiasi agenda ini. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa upaya pelestarian nilai-nilai budaya melalui agenda adat tradisi masih menjadi bagian kehidupan masyarakat.
“Pada dasarnya agenda ini menguatkan nilai budaya yg bermakna refleksi dan kontemplasi kehidupan manusia ketika memasuki tahun baru jawa, sekaligus memohon keselamatan dan keberkahan untuk menjalani tahun yang baru,” ujar Dian Laksmi Pratiwi, S.S., M.A. Kepala Dinas Kebudayaan DIY kepada media metroraya.id. *Penulis/Editor: Rochmad/Retnowati.
Leave a Reply