Surakarta, metroraya.id – Kasus restoran Ayam Goreng Widuran di Jl. Sutan Syahrir, No 71, Winduran, Solo, Jawa Tengah, mencuat setelah publik mengetahui bahwa menu yang selama ini diasumsikan halal oleh sebagian besar pelanggan, terutama Muslim, ternyata mengandung unsur non-halal. Rumah makan yang telah beroperasi sejak 1973 itu tanpa memberikan informasi yang jelas kepada konsumen, termasuk konsumen Muslim yang secara eksplisit menanyakan status kehalalan produk mereka.
Anggota Komite II DPD RI Dapil DIY mengungkapkan keresahannya dengan munculnya kasus terkait ketidakjelasan informasi menu yang disajikan oleh sebuah restoran. Dr. Hilmy Muhammad menegaskan bahwa persoalan kehalalan makanan bukan hanya soal agama, tetapi juga terkait perlindungan hak konsumen yang dijamin negara. Ia merujuk Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang secara tegas mewajibkan seluruh produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia bersertifikat halal, kecuali yang secara jelas berasal dari bahan haram.
“Kasus ini bukan cuma soal pelanggaran norma agama, tapi pelanggaran hukum negara. UU Jaminan Produk Halal sudah jelas mengatur, dan sanksi bagi pelanggar bisa berupa peringatan, denda, hingga pencabutan izin usaha,” ujar anggota Komite II DPD RI tersebut melalui keterangan tertulis pada Selasa, 27/5/25.

KH. Dr. Hilmy Muhammad. Anggota Komite II DPD RI Yang Juga Pengasuh Ponpes Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta. Foto: Dok Ist.
Dalam kasus ini, Gus Hilmy menyebut, sebagai kota yang dikenal dengan citra kuliner dan mayoritas penduduk Muslim, Pemkot Solo seharusnya lebih sigap, disiplin, dan aktif memastikan seluruh pelaku usaha makanan mematuhi ketentuan halal.
“Jangan hanya sibuk promosi pariwisata dan wisata kuliner, tapi lalai menjaga kepercayaan umat Islam yang mayoritas menjadi konsumen di kota ini. Pemkot Solo harus bertanggung jawab, sebab pengawasan pangan halal, utamanya adalah tugas pemerintah daerah, bukan semata BPJPH pusat,” kritiknya.
Hilmy menyayangkan bila kasus ini baru terungkap setelah ada laporan masyarakat dan viral di media sosial, yang menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di tingkat daerah.
Selain itu, dari aspek perlindungan konsumen, Ia juga mengingatkan bahwa UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha memperdagangkan produk tanpa informasi status halal.
Pria yang juga merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut juga mengimbau masyarakat agar lebih cermat dalam memilih makanan, tidak ragu bertanya soal kehalalan produk, dan memastikan tempat makan memiliki sertifikat halal resmi. Di sisi lain, bagi sebagian masyarakat yang terlanjur mengkonsumsi, ia menghimbau agar tidak larut dan cemas berlebihan.
“Dalam situasi seperti ini, umat muslim cukup memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbanyak istighfar, dan lebih hati-hati ke depannya. Tidak ada dosa bagi yang tidak tahu, dan hukum berlaku setelah mengetahuinya,” jelasnya.
Kepada pelaku usaha, Gus Hilmy berharap kasus ini menjadi pelajaran agar tidak hanya mengandalkan klaim sepihak, melainkan wajib mengikuti sertifikasi halal dari BPJPH dan pengawasan MUI.
Menanggapi rumah makan (RM) yang viral ini, Edi, warga Mojosongo, Solo merasa kaget sekaligus tidak percaya. Karena RM ini sudah cukup lama beroperasi di Solo. Tp karena tidak transparan maka tidak banyak yang tahu bahwa Rumah Makan ini menggunakan bahan non halal.
“Nah, gegara viral di Medsos akhirnya semua terbuka dan jadi terang benderang. Bahkan Walikota langsung melakukan sidak ke TKP dan menyatakan ditutup sementara untuk dilakukan asesmen oleh pihak berwenang. Nah, dibalik peristiwa selalu punya hikmah, kasus ini bisa jadi pembelajaran untuk pelaku usaha kuliner agar transparan terhadap label halal dan non halal dari produk yg dijual,” jelasnya. *Penulis/Editor: Rochmad/Retnowati.
Leave a Reply