Laporan langsung dari Rotterdam oleh kontributor metroraya.id
Udara dingin Rotterdam tak mampu meredam hangatnya semangat budaya yang meletup di dalam arena Pasar Malam Istimewa XL, Ahoy Rotterdam. Jumat siang, 18 April 2025, saya berdiri di antara kerumunan pengunjung yang memenuhi hall besar, wajah-wajah penuh rasa penasaran menyambut denting gamelan yang mengalun perlahan. Namun tak lama kemudian, panggung mengejutkan semua yang hadir—irama gamelan Jawa mendadak bersatu dengan beat Hip Hop. Tubuh-tubuh mulai bergerak, menari, menyatu dalam harmoni lintas zaman.
Pertunjukan ini adalah persembahan kelompok gamelan Jiwa Manunggal di bawah naungan Yayasan Stichting Gema Rasa. Seperti yang diceritakan Ference Wongsokario, aktivis seni tradisi asal Suriname, pertunjukan ini menjadi titik temu antara budaya leluhur dan suara masa kini. “Ini kolaborasi yang menyegarkan,” katanya dalam bahasa Jawa
. “Gamelan dan tarian Hip Hop bukan hanya tampil bersamaan, tapi saling berdialog.”
Saya melihat sendiri bagaimana remaja-remaja Belanda keturunan Jawa ikut larut, bahkan beberapa anak kecil menirukan gerakan penari Hip Hop di bawah temaram cahaya panggung. Keesokan harinya, semangat itu tak juga padam. Minggu malam, 20 April 2025, giliran layar putih wayang kulit terbentang lebar. Kali ini, kisah berjudul Wong Jawa en de Pasar Malam dimainkan. Suasana pasar malam menjadi latar kisah para Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang lucu dan menggelitik. Mereka berkeliling menikmati es cendol, sate kambing, hingga pisang goreng—semuanya ada di stand-stand pasar malam yang memikat indera dan memori akan tanah Jawa.

Lionel Madijokromo, Dhalang Cilik Usia 10 Tahun Warga Rotterdam Keturunan Suriname. foto: Ference Wongsokario.
Namun sorotan malam itu tak hanya milik lakon lucu Punakawan, melainkan juga untuk dhalang cilik bernama Lionel Madijokromo. Bocah 10 tahun ini memikat hati banyak penonton. Tangannya lincah memainkan tokoh-tokoh wayang, suaranya tegas namun jenaka. “Dia benar-benar istimewa,” kata Ference. “Masa depan seni tradisi ada di tangan anak-anak seperti Lionel.”
Pertunjukan ini bukan hanya sebuah tontonan. Ia adalah pernyataan budaya: bahwa seni tradisi Jawa bukanlah warisan yang ditinggal di masa lalu, tapi jembatan menuju masa depan. Dalam tiap denting gamelan dan celoteh lucu Bagong, saya melihat benih harapan bahwa budaya kita tak akan pernah kehilangan tempat, bahkan di ujung barat Eropa.
Tentang Jiwa Manunggal
Jiwa Manunggal yang artinya “Jiwa yang Bersatu”, adalah kelompok gamelan Jawa resmi dari Stichting Gema Rasa. Kelompok ini terdiri dari kolektif musisi dan pembawa budaya multigenerasi yang berdedikasi untuk melestarikan, mengembangkan, dan berbagi warisan musik dan seni pertunjukan Jawa yang kaya dalam konteks Suriname-Belanda. Melalui eksperimen artistik dan kolaborasi komunitas, Jiwa Manunggal mewujudkan semangat keberlanjutan dan inovasi budaya.
Tentang Stichting Gema Rasa
Didirikan oleh kelompok seni budaya Jawa, warga negara asal Suriname yang berdomisili di Rotterdam. Stichting Gema Rasa www.stichtinggemarasa.com adalah yayasan budaya Jawa yang berkomitmen untuk mengangkat dan merevitalisasi warisan budaya Suriname-Jawa melalui pendidikan, pertunjukan, dan transfer pengetahuan antar generasi. Yayasan ini beroperasi di persimpangan antara tradisi dan transformasi, menciptakan platform untuk ekspresi dan pemberdayaan yang berakar pada kearifan leluhur. Inisiatifnya meliputi lokakarya, produksi panggung, penelitian, dan keterlibatan masyarakat baik di diaspora maupun internasional.
Penulis/editor: Rochmad/Retnowati.
Leave a Reply